menjadi penulis


MENJADI PENULIS, SEBUAH CITA-CITA

Jika saya putar ulang ke belakang, saya sejak awal, tepatnya sejak duduk di bangku SLTA ingin menjadi penulis. Klasik, waktu itu saya merasa terbentur alat tulis alias mesin tik. Sekitar tahun 80-an, alat tulis yang sangat mewah adalah mesin tik. Keinginan memiliki sebuah mesin tik sendiri menjadi mimpi saya waktu itu. Tetapi saya juga menyadari sangat sulit untuk mewujudkan keinginan tersebut. Pada waktu itu komputer di Indonesia belum ada. Kalaulah sudah ada juga harganya tdak terjangkau dompet saya yang isinya cuma kertas coretan satu dua. Terus terang keinginan memiliki sebuah mesin tik, yang menurut impian saya dapat menunjang aktivitas menulis, sangat menggebu-gebu. Tapi apa daya. Saya hanya dapat berkhayal. Setiap kali mendengar bunyi mesin tik …tik..tik..tik….hati saya tergetar. Saya telah jatuh cinta dan mengkhayalkan memiliki sebuah mesin ketik. Yang jelas mimpi itu tidak pernah terwujudkan. Mimpi untuk menjadi penulis ternyata juga belum terwujud sampai detik ini, setalah empat puluh tahun kemudian.

Tulisan ini baru tahapan mencoretkan sesuatu yang belum tersistemasikan dengan baik. Saya baru pada tahapan memotivasi diri agar segera menulis. Menulis artikel yang layak diterbitkan di media masa. Ya semoga coret-coret ini dan yang lain-lain kelak dapat dihimpun menjadi sebuah artikel yang layak dikirim ke media masa, majalah atau koran.

Saya juga pernah ikut lomba mengarang ketika duduk di bangkai SLTA. Waktu itu naskah saya buat dengan tulis tangan. Persyaratan membolehkan waktu itu. Hanya saja saya juga tidak tahu kelanjutan beritanya. Saya teringat judul tulisan cerpen, alias cerita pendek saya adalah “Pada Sebuah Bis”. Dalam cerpen tersebut bagaimana rasanya berdesak-desakkan berada di kendaraan umum antara Kebumen dan Purworejo.

Saya bukan belum pernah mengirimkan tulisan ke media masa alias koran. Hanya saja intensitas hasil tulisan yang saya kirim belum apa-apa. Sekali ditolak, berhenti menulis. Pertama saya pernah mengirimkan sebuah tulisan ke Koran Jawa Pos. Temanya tentang Pemuda Muhammadiyah. Waktu itu tulisan yang saya buat sebagai tanggapan tulisan Joko Susilo, wartawan Jawa Pos yang juga aktif di Pemuda Muhammadiyah Jawa Timur. Sebagai aktivis Pemuda Muhammadiyah Bali, saya juga tergelitik untuk menulis tentang kepemudaan. Tetapi sayang apa yang saya tunggu-tunggu tidak ada berita dimuat atau ditolak. Setelah merasa yakin bahwa Jawa Pos tidak bersedia memuat, artikel tersebut saya kirim ke sebuah Koran terbitan Jawa Timur juga. Kali ini oleh Koran tersebut dikembalikan dengan sebuah catatan: “artikel ini tidak sesuai dengan misi Koran kami”. Meskipun ditolak dan dikembalikan, penolakan dengan alasannya membuat saya lega. Hanya saja arsip tulisan itu entah kemana. Sayang.

Sekitar dua tahun yang lalu saya juga mengirim tulisan ke Jawa Pos lagi. Kali ini tentang politik yang sedang berkembang menjelang pemilu 2014. Saya menulis tentang keberadaan Partai Demokrat dan PKS. Kali ini pun nasib tulisan itu tidak ada juntrungnya. Mudah-mudahan saja arsip tulisan tersebut dapat saya lacak dan temukan kembali. Tentu untuk dikoleksi artikel yang pernah saya tulis.

Tidak perlu terburu dibuang setiap artikel yang pernah ditolak. Anda punya pengalaman tulisan ilmiah anda ditolak di sebuah majalah ilmiah kawan anda. Artikel anda juga pernah ditolak dipresentasikan di sebuah konferensi. Tetapi artikel tersebut diterima di konferensi yang sama di panitia yang berbeda pada konferensi berikutnya.

Saya heran sekali, kawan saya sangat rapi menyimpan naskah yang ditulisnya puluhan tahun yang lalu. Ia masih menyimpan arsip naskah yang dia dapatkan 25 tahun yang lalu. Ia juga masih menyimapan kaset lagu barat yang ia dapatkan sewaktu mengikuti pelatihan pengajaran memakai lagu seperempat abad silam dan siap menggunakannya ketika diperlukan sekarang. Luar biasa. Rupanya dia mampu mengarsip dengan rapi naskah yang pernah ia dapatkan.

Ketika saya menulis coretan ini saya juga teringat puisi pertama saya pernah dimuat di sebuah media masa. Saya lupa apa nama media itu. Waktu itu saya masih di bangku SLTP. Tetapi saya juga tidak pernah dihubungi jika naskah saya dimuat. Saya mencoba mengingat-ingatnya. Seingat saya judulnya “Aku takut pada takut” seperti yang coba saya rangkai kembali.

Aku takut pada takut

Aku benci pada benci

Aku dendam pada dendam

Aku tidak suka pada rasa tak suka

Aku malas pada malas

…………..

 

Saya juga jadi teringat saya pernah menjadi juara menulis puisi di sekolah ketika di bangku SLTA. Lagi-lagi saya tidak memiliki arsip naskah itu. Seingat saya saya temanya adalah tentang masalah sosial. Saya menyoroti tentang penggunaan lapangan sepakbola yang digunakan untuk shalat ied oleh salah satu organisasi Muhammadiyah di kota tempat saya bersekolah di SMP dan SLTA. Padahal katanya lapangan bola itu kalau malam digunakan untuk mangkal kupu-kupu malam. Saya juga mencoba mengingat-ingat baris-baris yang saya.

 

Gemuruh takbir

Di atas rumput setengah mengering

Di atas embun pagi

yang belum beranjak pergi

Allahu akbar

Gema takbir berkumandang

Di tanah lapang

Yang tadi malam digunakan untuk berkencan

Para kupu-kupu malam

 

Kalau tidak salah ingat, waktu itu saya menjadi juara pertama atau juara kedua. Sewaktu di SLTA saya juga harus menulis tugas. Waktu itu saya memilih menulis tentang kesenian yang disebut “Dolalak”. Orang Jawa, khususnya di Purworejo sering menyebut dan melafalkannya dengan menambahkan pra-nasal (N-) “nDolalak”. Kesenian ini memang sangat terkenal di Kabupaten Purworejo. Saya tidak tahu apakah kesenian ini sekarang masih hidup atau sudah ditinggalkan. Hebatnya waktu itu saya sudah berinisiatif mencari sumber referensi tentang kesenian Ndolalak di Kantor Pendidikan dan kebudayaan Kabupaten Purworejo. Kalau tidak salah itu adalah hasil penelitian yang diwujudkan dalam sebuah skripsi S-1. Saya tidak ingat siapa penulisnya. Hasil rangkuman tentang kesenian nDolalak itu saya tuangkan dalam sebuah tulisan untuk dimuat di majalah dinding sekolah. Judulnya saya masih teringat sekali: “Dari Solmisasi, terciptalah nDolalak”. Yah berdasarkan referensi yang saya dapatkan waktu itu, istilah nDolalak berasal dari bunyi nada lagu “Do re mi fa sol la si do”, yakni “do la la” suara lagu yang dilantunkan dalam kesenian tersebut. Di zaman penjajahan, para serdadu Belanda di Kabupaten Purworejo dan penduduk setempat sering berjoget untuk menghibur diri di malam hari. Sambil menari mereka menyanyi “do la la” untuk mengiringi tarian mereka. Tarian itu bukan tarian yang teratur, tetapi hanyalah tarian menghibur diri. Karena nyanyiannya diambil dari solmisasi “do re mi fa sol la si do”, yaitu “do la la”, maka akhirnya penduduk setempat menyebutnya kesenian Dolala, yang kemudian menjadi Dolalak dan sering diucapkan menjadi “nDolalak” menurut lidah orang Jawa yang medok. Guru bahasa Indonesia saya, yang waktu masih kuliah di Jurusan bahasa Indonesia di IKIP Muhammadiyah Purworejo (sekarang menjadi Universitas Muhammadiyah Purworejo), orang Jawa suka memberikan pra-nasalisasi pada kata yang seharusnya tidak dinasalkan seperti “Dolalak” dilafalkan “nDolalak”. Menjadi penulis, hanya sebuah cita-cita?

MENJADI PENULIS, SEBUAH CITA-CITA

One thought on “menjadi penulis

Leave a comment