Social Equality and Communication Agreement

Social Equality and Communication Agreement

Majid Wajdi

e-mail: mawa2id@gmail.com

Politeknik Negeri Bali

 

ABSTRACT

It is widely studied and known that the language of Java could not be separated from its speech levels called ngoko ‘low code’ and krama ‘high code’. These low and high codes are usually used by the speakers of the language of Java to express their social equality, solidarity or intimacy (Wajdi, 2013), social deference, and social inequality in their daily life of communication in the speech a community of Java. This paper describes how the speakers of the language of Java choose and use low code ‘ngoko’ of the speech level of the language of Java to communicate during their daily life.  In order to provide the data of the research, observation and the study of a novel of Java (Brata, 2009) were taken. Recording and field note techniques were executed to complete the observational data of the research. Recorded conversation was then transcribed, classified, and codified according to the speech levels of the language of Java before being analyzed and taken into discussion. The dialog taken from the novel of a novel of the language of Java was re-transcribed and codified according to low speech level.  The symmetrical use of low code ‘ngoko’ in the language of Java reflects intimate communication, in which two participants employ ngoko symmterically, because of social intimacy (-D) and social equality (-P), and solidarity politeness is reflected in it. The finding of the research shows that the symmetrical use of ngoko could present the phenomena of politeness, that is solidarity or friendliness politeness. It is concluded that the use of low code, ngoko, which is higly patterned is not a merely communication strategy but it is identified as a communication agreement or communication contract between the participants. Choosing and using a certain code of speech levels, whether low or high code of the language of Java, is based on participants’ rights and obligations involved in daily communication. Symmetrical use of ngoko emphasized social equality and social solidarity. The use of low code in the language of Java is not merely a communication strategy but communication agreement or communication contract in which to use and choose a certain code is based on speakers’ rights and obligations.

Keywords:  social equality, social solidarity, communication agreement, communication contract

The Asymmetrical Communication

THE ASYMMETRICAL COMMUNICATION

Majid Wajdi

Email: mawa2id@gmail.com

Politeknik Negeri Bali

Abstract-The existence of the Javanese speech community cannot be separated from the existence of the Javanese language (with the stratification of speech in it. Javanese speech stratification, if contrasted, will appear into two speech levels, namely ngoko (low speech level) and krama (high speech level). With the level of ngoko and krama speech, BJ provides detailed tools to be used as a medium of communication and daily interaction with fellow members of the speech community. The Javanese speech level code allows the speakers to make a choice of codes that are in accordance with the purpose of communication with their partners or interlocutors, so that communication becomes acceptable.The research findings show that the communication behaviour of the Javanese speaking community shows the pattern of equal dyadic communication and unequal dyadic communication. In unequal dyadic communication: the speech participants use different speech codes: the first speaker (P1) uses a low code (ngoko) and the second speaker (P2) uses a high code (krama) or vice versa. ngoko vs. code usage the code of manners serves as a hierarchical marker, signifies inequality, and reflects hierarchical politeness. The unequal dyadic communication pattern using the BJ speech level code was identified as “code-crossing” communication. Communication using a patterned speech level code is not merely a communication strategy, but as a form of communication contract based on the rights and obligations of each participant.

 Keywords: cross code, hierarchical politeness, social contract, communication contract

Pola Komunikasi Masyakarat Hierarkis

Pola Komunikasi Masyarakat Hierarkis

Dr. Majid Wajdi, M.Pd.

Penerbit: Diandra Kreatif Yogyakarta, Juli 2021

Halaman: xviii + 412

ISBN cetak: 978-623-240-082-5

ISBN Digital: 978-623-240-083-2

Pelopor dan Pendiri MUI

PELOPOR dan PENDIRI MUI (MAJELIS ULAMA INDONESIA)

  1. Presiden Soeharto, 2. Prof. Dr. Buya Hamka, 3. KH. Syukri Ghazali, 4. Prof. KH. Ibrahim Hosen, 5. KH. Hasan Basri, 6. Prof. KH. Ali Yafie

Presiden Soeharto.
Lahir tahun 1921, Wafat tahun 2008
-Presiden Republik Indonesia selama 32 tahun

Prof. Dr. Buya Hamka.
Lahir tahun 1908, Wafat tahun 1981.
-Ketua Umum MUI (pertama) selama enam tahun.

KH. Syukri Ghozali.
Lahir tahun 1906, Wafat tahun 1984.
-Ketua Umum MUI (kedua) selama tiga tahun.
-Dekan Fakultas Syariah IAIN (UIN) Jakarta.

Prof. KH. Ibrahim Hosen.
Lahir tahun 1917, Wafat tahun 2001.
-Ketua Komisi Fatwa MUI selama 20 tahun.
-Rektor pertama IAIN (UIN) Palembang.
-Rektor pertama PTIQ Jakarta.
-Rektor pertama IIQ Jakarta.

KH. Hasan Basri
Lahir tahun 1920, Wafat tahun 1998.
-Ketua Umum MUI (ketiga) selama enam tahun.

Prof. KH. Ali Yafie.
Lahir tahun 1926.
-Ketua Umum MUI (keempat) selama 10 tahun.
-Rektor IAIN (UIN) Makasar
-Rektor IIQ Jakarta.
-Rais Aam PBNU.

Sejarah berdirinya MUI (Majelis Ulama Indonesia)

Embrio gagasan pendirian MUI muncul dari Prof. KH. Ibrahim Hosen, seorang ulama fikih kenamaan pada masa itu, ketika dirinya mempresentasikan makalah dalam konferensi alim-ulama di Jakarta.

Konferensi alim ulama tersebut berlangsung tepatnya pada tanggal 30 September sampai 4 Oktober tahun 1970 di Jakarta (saat itu usia Ibrahim Hosen sekitar 53 tahun). Dengan mengutip keputusan Majma’ Buhuts Al Islamiyah Kairo tahun 1964, Ibrahim Hosen mengemukakan pentingnya lembaga fatwa Sebagai wadah ulama untuk melakukan ijtihad secara kolektif.

Namun gagasan tersebut pada awalnya belum mendapatkan dukungan penuh dari peserta konferensi.
Prof. Dr. Buya Hamka, yang juga menjadi penyaji makalah saat itu pada awalnya menolak gagasan tersebut. (Usia Buya Hamka saat itu sekitar 62 tahun, 9 tahun lebih tua daripada Ibrahim Hosen).
Sebagai gantinya, Prof. Dr. Buya Hamka merekomendasikan kepada Presiden Soeharto agar mengangkat Mufti Negara yang dapat memberikan nasihat kepada pemerintah dan ummat Islam Indonesia. (Meskipun pada akhirnya Buya Hamka ternyata menyetujui gagasan Ibrahim Hosen tersebut dan justru kemudian setelah MUI berdiri, Buya Hamka menjadi tokoh ulama yang dipercaya sebagai Ketua Umum MUI yang pertama).

Gagasan tersebut akhirnya menguat dalam Lokakarya Muballigh se-Indonesia, yang diadakan oleh Pusat Dakwah Islam Indonesia pada tanggal 26-29 November 1974.

Saat itu lahir sebuah konsensus akan perlunya Majelis Ulama sebagai wahana untuk menjalankan mekanisme yang efektif dan efesien dalam upaya memelihara dan membina kontinuitas partisipasi umat Islam Indonesia terhadap pembangunan.

Konsensus untuk membentuk Majelis Ulama tersebut didukung penuh oleh Presiden Soeharto dan bahkan Presiden Soeharto pun memberikan saran agar pembentukan wadah ulama semacam itu diprakarsai mulai dari tingkat daerah. Saran itupun disetujui oleh seluruh peserta Lokakarya kala itu.

Hal itu pun lebih diperkuat lagi dengan amanat Presiden Soeharto ketika menerima Pengurus Dewan Masjid Indonesia tanggal 24 Mei 1975 yang mengharapkan agar Majelis Ulama Indonesia segera dibentuk.

Melalui Menteri Dalam Negeri ketika itu yaitu Amir Machmud, Presiden Soeharto menyarankan kepada para Gubernur untuk membentuk Majelis Ulama tingkat daerah.

Hasilnya, pada bulan Mei 1975 Majelis Ulama tingkat daerah telah terbentuk dihampir seluruh daerah tingkat I (Provinsi) dan seluruh daerah tingkat II Kabupaten Kota (meliputi 26 Provinsi).

Lahirnya MUI diawali dengan lahirnya PIAGAM BERDIRINYA MUI dalam musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama dari berbagai penjuru tanah air. Musyawarah tersebut dalam sejarahnya kemudian dicatat sebagai Musyawarah Nasional (Munas) MUI yang pertama.

Ketika itu hadir sejumlah tamu undangan sebanyak 26 ulama yang mewakili 26 provinsi di Indonesia, 10 ulama perwakilan Ormas Ormas Islam tingkat pusat, 4 ulama dari Dinas Rohani Islam Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan juga POLRI. Serta 13 orang tokoh / cendekiawan yang hadir secara pribadi sebagai undangan khusus.

Setelah kepemimpinan MUI generasi awal, estafet kepemimpinan MUI berlanjut dengan kepemimpinan generasi berikutnya seperti KH. Sahal Mahfud, Prof. Dr. Din Syamsuddin, dan KH. Ma’ruf Amin. Di antara para tokoh MUI lintas generasi tersebut memang terpaut rentang usia yang cukup jauh. Misalnya saja, Prof. Dr. Buya Hamka selisih usianya 9 tahun lebih tua jika dibandingkan dengan Prof. KH. Ibrahim Hosen. Sedangkan Prof. KH. Ibrahim Hosen selisih usianya 26 tahun lebih tua jika dibandingkan dengan Prof. KH. Ma’ruf Amin.
Prof. KH. Ma’ruf Amin adalah Ketua Komisi Fatwa MUI menggantikan Prof. KH. Ibrahim Hosen yang merupakan Ketua Komisi Fatwa sebelumnya yang dijabat olehnya selama 20 tahun hingga wafatnya.

SERATUS PERINTAH ALLAH

SERATUS (100) PERINTAH ALLAH PADA MANUSIA YANG TERCATAT DI DALAM AL QUR’AN

  1. Jangan berkata kasar.
    (QS 3 – Ali Imran: 159)
  2. Tahanlah marah.
    (QS 3 – Ali Imran: 134)
  3. Berbaiklah kepada orang lain.
    (QS 4 – An Nisaa’: 36)
  4. Jangan sombong dan congkak.
    (QS 7 – Al A’raaf: 13)
  5. Maafkanlah kesalahan orang lain.
    (QS 7 – Al A’raaf: 199)
  6. Berbicaralah dengan nada halus dan bersopan.
    (QS 20 – Thaahaa: 44)
  7. Rendahkanlah suaramu.
    (QS 31 – Luqman: 19)
  8. Jangan mengejek orang lain.
    (QS 49 – Al Hujuraat: 11)
  9. Berbaktilah pada orang tua (ibu bapak).
    (QS 17 – Al Israa’: 23)
  10. Jangan mengeluarkan kata yang tidak menghormati orang tua ( ibu bapak).
    (QS 17 – Al Israa’: 23)
  11. Jangan memasuki kamar pribadi ibu bapak tanpa izin.
    (QS 24 – An Nuur: 58)
  12. Catatlah hutang-hutangmu.
    (QS 2 – Al Baqarah: 282)
  13. Jangan mengikuti orang secara membabi buta.
    (QS 2 – Al Baqarah: 170)
  14. Berikanlah lanjutan waktu bila orang yang berhutang kepadamu dalam kesempitan.
    (QS 2 – Al Baqarah: 280)
  15. Jangan makan riba’/membungakan uang
    (QS 2 – Al Baqarah: 1)
  16. Jangan melakukan korupsi)
    (QS 2 – Al Baqarah: 188)
  17. Jangan ingkar atau melanggar janji
    (QS 2 – Al Baqarah: 177)
  18. Jagalah kepercayaan orang lain kepadamu
    (QS 2 – Al Baqarah: 283)
  19. Jangan campur adukan kebenaran dengan kebohongan
    (QS 2 – Al Baqarah: 42)
  20. Berlakulah adil terhadap semua orang
    (QS 4 – An Nisaa’: 58)
  21. Tegakkanlah keadilan dengan tegas
    (QS 4 – An Nisaa’: 135)
  22. Harta yang meninggal harus dibagikan kepada anggota keluarga
    (QS 4 – An Nisaa’: 7)
  23. Wanita memiliki hak waris
    (QS 4 – An Nisaa’: 7)
  24. Jangan memakan harta anak yatim
    (QS 4 – An Nisaa’: 10)
  25. Lindungi anak yatim
    (QS 2 – Al Baqarah: 220)
  26. Jangan memboroskan harta dengan sewenang-wenangnya
    (QS 4 – An Nisaa’: 29)
  27. Damaikanlah orang yang berselisih
    (QS 49 – Al Hujuraat: 9)
  28. Hindari perasangka buruk
    (QS 49 – Al Hujuraat: 12)
  29. Jangan terlalu percaya sama orang
    (QS 2 – Al Baqarah: 283)
  30. Jangan memfitnah orang
    (QS 49 – Al Hujuraat: 12)
  31. Gunakan harta untuk kegiatan sosial QS 57 – Al Hadid: 7)
  32. Biasakan memberi makan orang miskin
    (QS 107 – Al Maa’uun: 3)
  33. Bantulah orang fakir yang berada di jalan Allah
    (QS 2 – Al Baqarah: 273)
  34. Jangan menghabiskan uang untuk bermegah-megah
    (QS 17 – Al Israa’: 29)
  35. Jangan menyebut-nyebut tentang sedekahmu
    (QS 2 – Al Baqarah: 264)
  36. Hormatilah tamu anda
    (QS51AdzDzaariyaat26)
  37. Perintahkan kebajikan setelah kita melakukannya sendiri
    (QS 2 – Al Baqarah: 44)
  38. Jangan berbuat kerusakan di muka bumi
    (QS 2 – Al Baqarah: 60)
  39. Jangan menghalangi orang datang ke masjid
    (QS 2 – Al Baqarah: 114)
  40. Perangilah mereka yang memerangi mu
    (QS 2 – Al Baqarah: 190)
  41. Jagalah etika perang
    (QS 2 – Al Baqarah: 191)
  42. Jangan lari dari peperangan
    (QS 8 – Al Anfaal: 15)
  43. Tidak ada paksaan untuk memasuki agama (Islam)
    (QS 2 – Al Baqarah: 256)
  44. Berimanlah kepada para Nabi
    (QS 2 – Al Baqarah: 285)
  45. Jangan melakukan hubungan intim di saat haid
    (QS 2 – Al Baqarah: 222)
  46. Susuilah anak-anakmu selama dua tahun penuh
    (QS 2 – Al Baqarah: 233)
  47. Jauhilah hubungan intim di luar nikah
    (QS 17 – Al Israa’: 32)
  48. Pilihlah pemimpin yg pantas. Pilihlah pemimpin berdasarkan ilmu dan jasanya
    (QS 2 – Al Baqarah: 247)
  49. Jangan membebani orang di luar kesanggupannya
    (QS 2 – Al Baqarah: 286)
  50. Jangan mau dipecah belah
    (QS 3 – Ali Imran: 103)
  51. Renungkanlah keajaiban dan penciptaan alam semesta ini
    (QS 3 – Ali Imran 3: 191)
  52. Lelaki maupun wanita mendapat balasan yang sama sesuai perbuatannya
    (QS 3 – Ali Imran: 195)
  53. Jangan menikahi mereka yang sedarah denganmu
    (QS 4 – An Nisaa’: 23)
  54. Keluarga harus di-imami oleh seorang lelaki
    (QS 4 – An Nisaa’: 34)
  55. Jangan pelit
    (QS 4 – An Nisaa’: 37)
  56. Jangan iri hati
    (QS 4 – An Nisaa’: 54)
  57. Jangan saling membunuh
    (QS 4 – An Nisaa’: 92)
  58. Jangan membela ketidakjujuran atau kebohongan
    (QS 4 – An Nisaa’: 105)
  59. Jangan bekerja-sama dalam dosa dan kekerasan
    (QS 5 – Al Maa-idah: 2)
  60. Bekerja samalah dalam kebenaran
    (QS 5 – Al Maa-idah: 2)
  61. Mayoritas bukanlah merupakan kriteria kebenaran
    (QS 6 – Al An’aam: 116)
  62. Berlaku adil
    (QS 5 – Al Maa-idah: 8)
  63. Berikan hukuman untuk setiap kejahatan
    (QS 5 – Al Maa-idah: 38)
  64. Berjuanglah melawan perbuatan dosa dan melanggar hukum
    (QS 5 – Al Maa-idah: 63)
  65. Dilarang memakan binatang mati, darah dan daging babi
    (QS 5 – Al Maa-idah: 3)
  66. Hindari minum racun dan alkohol
    (QS 5 – Al Maa-idah: 90)
  67. Jangan berjudi
    (QS 5 – Al Maa-idah: 90)
  68. Jangan menghina keyakinan atau agama orang lain
    (QS 6 – Al An’aam: 108)
  69. Jangan mengurangi timbangan untuk menipu
    (QS 6 – Al An’aam: 152)
  70. Makan dan minumlah secukupnya
    (QS 7 – Al A’raaf: 31)
  71. Kenakanlah pakaian yang bagus di saat sholat
    (QS 7 – Al A’raaf: 31)
  72. Lindungi dan bantulah mereka yang meminta perlindungan
    (QS 9 – At Taubah: 6)
  73. Jagalah kemurnian
    (QS 9 – At Taubah: 108)
  74. Jangan pernah putus asa akan pertolongan Allah
    (QS 12 – Yusuf: 87)
  75. Allah mengampuni orang yang berbuat dosa kerana kebodohannya
    (QS 16 – An Nahl: 119)
  76. Berserulah/ajaklah kepada jalan Allah dengan cara yang baik dan bijaksana
    (QS 16 – An Nahl: 125)
  77. Tidak ada seorangpun yang menanggung dosa orang lain
    (QS 17 – Al Israa’: 15)
  78. Jangan membunuh anak-anakmu kerana takut akan kemiskinan
    (QS 17 – Al Israa’: 31)
  79. Jangan mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya
    (QS 17 – Al Israa’: 36)
  80. Jauhkan diri dari perkataan dan perbuatan yang tidak bermanafaat
    (QS23–Al Mu’minuun: 3)
  81. Jangan memasuki rumah orang lain tanpa izin pemilik rumah
    (QS 24 – An Nuur: 27)
  82. Allah menjamin balasan kebaikan hanya kepada mereka yang percaya kepada Allah
    (QS 24 – An Nuur: 55)
  83. Berjalanlah di muka bumi dengan rendah hati
    (QS 25 – Al Furqaan: 63)
  84. Jangan melupakan kenikmatan dunia yang telah Allah berikan
    (QS 28–Al Qashash: 77)
  85. Jangan menyembah Tuhan selain Allah
    (QS 28 – Al Qashash: 88)
  86. Jangan terlibat dalam homosexual
    (QS29–Al ‘Ankabuut: 29)
  87. Berbuat baik dan cegahlah perbuatan munkar
    (QS 31 – Luqman: 17)
  88. Janganlah berjalan di muka bumi dengan sombong
    (QS 31 – Luqman: 18)
  89. Wanita dilarang memamerkan diri
    (QS 33 – Al Ahzab: 33)
  90. Allah mengampuni semua dosa-dosa kita
    (QS 39 – Az Zumar: 53)
  91. Jangan berputus asa akan keampunan dari Allah
    (QS 39 – Az Zumar: 53)
  92. Balaslah kejahatan dengan kebaikan
    (QS 41 – Fushshilat: 34)
  93. Selesaikan persoalan dengan bermusyawarah
    (QS 42–Asy Syuura: 38)
  94. Orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang bertaqwa
    (QS 49 – Al Hujuraat: 13)
  95. Tidak ada dikenal biara dalam agama (Islam)
    (QS 57 – Al Hadid: 27)
  96. Allah akan meninggikan darjat mereka yang berilmu
    (QS58–Al Mujaadilah: 11)
  97. Perlakukan kaum bukan Islam dengan baik dan adil
    (QS60-Al Mumtahanah:
  98. Hindari diri dari sifat kikir
    (QS64–AtTaghaabun: 16)
  99. Mohon keampunan kepada Allah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
    (QS73–AlMuzzammil: 20)
  100. Jangan menghardik orang yang meminta-minta
    (QS 93–Adh Dhuhaa: 10)

Smart vs Clever vs Jenius

Oleh Marabasa Wanashiha

Sang Jenius

Jenius itu beda dengan cerdik. Dalam khasanah Bahasa Indonesia, kita temukan kata alias istilah “pandai”, “pintar”, dan “cerdas”, serta “jenius”. Masing-masing kata itu merupakan kata sifat, kata yang digunakan untuk men-sifati sesuatu (benda) atau orang. Kata terakhir merupakan bentuk serapan dari bahasa lain melalui proses adaptasi, yakni berasal dari bahasa Inggris “genius”.

Kehadiran seorang yang dikategarikan jenius ditandai dengan permusuhan dari orang-orang yang memiliki sifat berkebalikan dan sang jenius. “Jika seorang jenius muncul, maka bersatulah orang-orang bodoh untuk memusuhinya

Dalam bahasa Inggris kita dapati kata sifat “clever”. Kita sering memadankan dengan kata sifat dalam Bahasa Indonesia “pintar”, yang berpadanan dengan kata sifat  “pandai”. Ada juga kata sifat “smart” dalam Bahasa Inggris. Lazimnya kita memadankannya dengan kata sifat “cerdas”, sedangkan kata sifat “genius” diadopsi langsung plus adaptasi sehingga menjadi kata sifat bahasa Indonesia “jenius”.

Apa perbedaan kata sifat bahasa Inggris “clever” dan “smart”? Dalam bahasa Inggris, kata sifat “clever” (pandai/pintar) memiliki konotasi negatif (lihat Hadi Podo & JJ. Sulivan (1989) Kamus Ungkapan Inggris-Indonesia. Jakarta: PT Gramedia). Kita sangat lazim mendengar ungkapan seperti “Toni is clever in school”. Jika maksudnya “Toni adalah seorang siswa yang pandai” dalam arti “cerdas”, maka akan lebih tepat kalau dikatakan: Toni is bright, Toni is intelligent atau Toni is smart. Kata sifat clever berkonotasi negatif. Jika ada ungkapan Toni is a clever boy, maknanya adalah “Toni adalah seorang cowok yang licik”.

Siapa orang cerdas dan siapa orang jenius itu? Seorang yang dapat memecahkan masalah dengan perkara yang tidak dapat dilakukan orang lain itulah yang disebut bagi orang pandai dalam makna cerdas. Sedangkan jenius adalah orang yang dapat memecahkan masalah yang tidak mungkin dilakukan oleh orang rata-rata secara umum maupun orang yang pandai atau cerdas. Jenius adalah pemecah masalah yang dianggap tidak mungkin dilakukan oleh orang awam dan orang pandai sekali pun.

Kita sering menggunakan kata sifat “pandai” dan “pintar” untuk menggambarkan perilaku buruk seseorang, misalnya Ia pandai menipu (baca: Ia penipu yang pandai) atau Ia pintar menipu (Ia penipu yang pintar). Tetapi jarang kita menggunakan kata sifat “cerdas” dan “jenius” dalam makna yang berkonotasi negatif. Lagu si Kancil juga menggambarkan bagaimana kepandaian seekor binatang yang bernama Kancil ternyata diasosiasikan dengan sifat negatif yakni “suka mencuri”. Pintar mencuri, pintar menipu.

Si kancil amat pintar,

suka mencuri ketimun,

Ayo lekas dikejar

Jangan diberi ampun

Para Nabi adalah manusia jenius pilihan Allah swt. Para Nabiyullah itulah yang menawarkan pemecahan masalah rumit yang dihadapi masyarakat yang dianggap sudah masuk terlalu dalam yang sering kita istilahkan lingkaran syetan. Akan tetapi kita juga dapat melihat sejarah, para Nabi dimusuhi oleh sesama dalam masyarakatnya.

Bagaimana kita dapat mengidentifikasi jenius di masyarakat kita? Sangat mudah. Ketika Nabi Muhammad SAW, sang jenius, datang dan hadir di masyarakatnya, kita dapat melihat dalam sejarah kemudian bersatulah orang-orang bodoh (jahiliyah) Quraisy memusuhinya.

Struktur masyarakat secara umum terdiri dari orang awam atau rakyat kebanyakan. Ini menempati prosentase tertinggi atau terbanyak dan digambarkan menempati ruang paling bawah jika digambarkan dalam bentuk segitiga. Segitiga itu memiliki bidang yang paling banyak dan lebar di bagian bawah. Bagian tengah ditempati oleh para orang terpelajar. Dibandingkan dengan orang awam, orang terpelajar ini juga lebih sedikit. Sedangkan sang jenius bisa jadi, jika ada dalam masyarakat, jumlahnya hanya sangat sedikit, bahkan jika ada hanya bisa dihitung dengan telunjuk jari. Ia menjadi manusia langka dalam masyarakatnya. Oleh karenanya, ia boleh jadi dianggap orang ‘gila’, karena ia akan melakukan hal-hal yang tidak lazim dikerjakan orang kebanyakan. Gagasan, pola pikir, dan kehendaknya tidak dapat dipahami masyarakat awam. Sementara kaum elitnya yakni para cerdik pandai merasa terancam melihat gagasan dan sepak terjangnya.

Kata-kuncinya “Jika seorang jenius datang, maka bersatulah orang-orang bodoh untuk memusuhinya