Kuliah, bayar berapa?

KULIAH, BAYAR BERAPA?

Ada pertanyaan yang pernah saya terima dari ibu tuan rumah tempat saya ikut numpang di rumah kos kakak saya. Awalnya saya tidak menyangka bahwa pertanyaan itu bukan berkenaan dengan berapa SPP dan lain-lain yang harus saya bayar setiap bulan. Saya dikira membayar alias menyuap agar dapat diterima kuliah di PTN bergengsi ini. Subhanallah. Saya ikut tes di PTN itu pun hasil nekat saya. Saya belum siap secara finasial untuk membayar SPP dan lain-lain. Saya hanya nekat dan menyerahkan segalnya kepada yang Maha Pemberi rezki. Saya hanya seorang anak manusia yang punya keinginan untuk dapat bersekolah. Saya harus sering kena marah bagian keuangan sekolah sewaktu di bangku SLA karena sering terlambat membayar SPP. Saya juga pernah ‘membolos’ membayar tiket bis jurusan Purworejo-Semarang sebsar 750 rupiah pada tahun 1982 sewaktu saya ke Semarang hendak mendaftar tes perguruan tinggi di IKIP Semarang (sekarang berubah menjadi Universitas Negeri Semarang). Saya juga ‘membolos’ membayar tiket bis kota sebesar 50 rupiah di tahun yang sama, tahun 1982. Keinginan untuk dapat melanjutkan di perguruan tinggi, melupakan pada yang tidak saya miliki. Paman saya menjuluki saya sebagai anak kementhus. Julukan dalam bahasa Jawa untuk menyebut orang-orang yang secara fisik dan finansial tidak memiliki apa-apa tetapi berkeinginan melakukan sesuatu yang menurut sang penilai sebagai hal yang mustahil.

Saya katakan saya masuk perguruan tinggi negeri ini melalui proses tes. Saya lulus tes. Saya tidak mungkin menyogok dengan membayar sekian rupiah agar dapat lulus tes dan diterima. Saya tidak punya dana untuk menyogok, jika benar ada yang dapat masuk melalui proses membayar alis menyogok. Saya juga tidak percaya dengan aktivitas sogok menyogok. Saya akan bersyukur kalau saya dapat membayar SPP bulan dan kebutuhan dasar. Itu sudah cukup dan harus disyukuri. Saya sering mendengar pernyataan orang bahwa untuk sekolah, untuk kuliah dan nanti setelah selesai sekolah atau kuliah, orang juga harus menyogok agar diterima berkerja di suatu tempat kerja. Saya sendiri, di samping tidak punya cukup dana, tidak percaya dengan sogok menyogok untuk dapat masuk kuliah dan memasuki dunia kerja. Saya hanya yakin bahwa Allah akan memberikan jalan terbaik, tanpa melalui sogok menyogok alis suap-menyuap. Saya berkeyakinan bahwa pernyataan Nabi harus menjadi pegangan bahwa “penyuap dan penerima suap adalah penghuni neraka”. Sampai hari ini saya juga sering mendengar untuk menjadi PNS, orang harus membayar 250 juta sampai 300 juta. Untuk menjadi guru PNS di suatu Kabupaten dijamin diterima asal mau menyediakan uang sebesar itu. Katanya. Bahkan ada seorang kawan, serius atau tidak, pernah bersedia membayar 500juta jika anaknya dijamin masuk PNS. Anaknya memiliki ijazah S-2. Saya pribadi tidak tergiur dengan cerita-cerita seputar suap-menyuap dalam dunia pendidikan dan dunia kerja. Bagaimana mungkin bekerja dalam rangka mencari rezki, untuk mendapatkan uang kok harus membayar sekian banyak. Apakah itu masuk akal? Masuk akal atau tidak harus diingat dan dicamkan bahwa “penyuap dan penerima suap keduanya adalah penghuni neraka”. Kuliah, bayar berapa?

KULIAH, BAYAR BERAPA?