Pemuda Muhammadiyah, Fastabiqul Khoirot


SELAMAT MILAD PEMUDA MUHAMMADIYAH:
BERNOSTALGIA KE MASA DEPAN

Oleh Majid Wajdi
Ketua PWPM 1998-2002

Sabtu, 2 April 2020, saya menghadiri undangan dialog ulang tahun Pemuda Muhammadiyah yang ke-88 dari Pemuda Muhammadiyah Bali. Undangan melalu WA pribadi itu saya terima pagi menjelang siang. Sependek yang saya ketahui, baru kali ini Pemuda Muhammadiyah semacam memperingati hari lahir. Untuk kali ini hari lahir yang ke-88. Beberapa kartu ucapan selamat harlah dari beberapa tokoh Muhammadiyah Bali juga muncul di WA grup plus foto tokoh yang mengirim kartu itu.

Sampai di tempat dialog diadakan, saya melihat beberapa tokoh pemuda Muhammadiyah Bali sedang menyaksikan teleconference antara Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah dengan beberapa ketua Pemudah Muhammadiyah periode sebelumnya. Semasa wabah Covid-19 (Corona Virus yang ditemukan pada akhir tahun 2019), meskipun saya belum pernah menggunakannya, aplikasi Zoom menjadi sangat popoluer dan meningkat pengguna dan penggunaannya. Di layar saya melihat ada Mas Habib Hirzin, Mas Hajriyanto, Mas Imam, Mas Mukti (Sekum PP Muhammadiyah) dan Ketua PP Pemuda Muhammadiyah, saudara Sunanto, SHI, MHI. Saya mengenalinya dari pemberian kesempatan kepadanya untuk memberikan sambutan oleh pembawa acara. Selian itu saya kurang mengenalinya karena saudara Ketua PP Pemuda Muhammadiyah memakai masker. Suara melalui teleconference juga kadang-kadang kurang jelas.

Tujuh menit sebelum jam berbuka puasa tiba, saya diminta oleh Ketua PM Pemuda Muhammadiyah Bali, sdr. M. Sobri untuk menceritakan situasi Politik Nasional dan Lokal Bali pada periode 1998-2002 dan sekaligus memperkenalkan diri. Terus terang saya tidak memiliki catatan masa lalu di dalam memori saya, peristiwa duapuluhan tahun yang lalu, yang saya harus ceritakan. Saya justru menjadi teringat bacaan beberapa tahun yang lalu tentang nostalgia ke masa depan yang digagas oleh cendekiawan Muslim Iran, Dr. Ali Syariati. Jika saya menceritakan situasi Bali pada periode 1998-2002, ini adalah sebuah nostalgia masa lalu. Ali Syariati menawarkan sebuah impian ke depan yang dituangkan dengan istilah nostalgia ke masa depan. Banyak di antara kita memang sangat menikmati nostalgia masa lalu. Orang sangat suka bercerita prestasi, foto, dan kenangan masa lalu. “Saya adalah lurah di desa saya tahun sekian sampai tahun sekian”. Padahal saat ini ‘saya’ tidak punya prestasi apa-apa. Ini adalah sebuah contoh bagaimana orang sangat terlena dengan prestasi masa lalu yang selalu ia kenang, tetapi ia lupa posisi dan prestasi dirinya saat: tanpa prestasi apapun. Tetapi ia sangat puas dengan prestasi masa lalu yang pernah diperolehnya.

Bagian dari nostalgia masa lalu adalah seseorang membangga-banggakan prestasi orang tuanya. Ada satu ungkapan dalam Bahasa Arab yang mengkritik pedas kepada orang yang sekedar bangga dengan prestasi orangtuanya, tetapi ia tidak bisa memperlihatkan prestasi dirinya saat ini. “Laisal fata man yaquulu kaana abi. Walaakinnal fata manyaquulu kaana hadza”. Bukan pemuda orang yang hanya sekedar bisa mengatakan inilah bapak saya. Hakikat seorang pemuda adalah orang yang bisa mengatakan ‘inilah diri saya’.

Menurut heman saya, etos dan etik semacam ini harus ditumbuh-kembangkan di kalangan pemuda sebagai suplemen teos dan etik tunggal yang selama ini dikembangkan yakni “fastabiqul khoirat”, berlomba dalam kebaikan. Di dalam dunia olahraga ada dua jenis istilah yang digunakan. Ada pertandingan dan ada lomba. Dalam pertandingan yang ditonjolkan adalah dirinya dan sang musuh. Sebaliknya di didalam sebuah lomba, pihak lain adalah mitra. Kita tidak perlu mengalahkan dia dengan jalan ‘menyakiti’ secara fisik. Kita cukup memperlihatkan prestasi yang terbaik di depan orang lain. Inilah hakikat sebuah lomba. Di dalam sebuah pertandingan tinju misalnya, untuk menjadi seorang pemenang, ia harus memukul pihak musuh. Semakin banyak memukul dan semakin banyak bisa menghindari pukulan musuh, maka potensi menjadi pemenang akan diraih. Menyakiti dan membuat musuh lemah secara fisik, itulah hakikat pertandingan.

Menurut hemat saya, etos dan etik pemuda Muhammadiyah “fastabiqul khoirat”, berlomba dalam kebajikan dapat disandingkan dengan etos dan etik “laisal fataa mayaquulu kaana abi. Walaakinnal fata man yaquulu kaana hadza”, bukan pemuda orang yang hanya bisa mengatakan inilah ayah saya. Hakikat pemnuda adalah orang yang bisa menatakan ‘inilah saya’.

Etos dan etik suplemen berikutnya yang dapat dimiliki oleh pemuda adalah semangat untuk menuntut ilmu. Etos dan etik: Siapa saja yang bersusah payah dalam sebuah perjalanan menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Semangat “mansalaka thoriqon yaltamizu illal ‘ilmi, sahhalallaahulahu thoriiqon illal Jannah” harus menjadi menu suplemen dan bahkan menjadi menu utama tambahan bagi para pemuda. Pemuda Muhammadiyah adalah pemuda Islam. Sangat banyak etos dan etik Islam yang penting menjadi pedoman hidup pemuda. Bukankah “tholabul ‘ilmi faridhotun ‘ala kulli muslimin wamuslimatin”, menuntut ilmu wajib bagi setiap pemuda Muslim. Pemuda Muhammadiyah, sebagai bagian dari pemuda Islam, harus mengembangkan etos dan etik ini di dalam kehidupannya sebagai bagian dari etos dan etik “fastabiqul khoirat”. Untuk bisa berpartispasi dalam sebuah perlombaan, seorang harus berilmu. Untuk meraih ilmu, seseorang harus membaca. Dan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa membaca adalah perintah Allah dalam Al-Quran.

Selamat milad Pemuda Muhammadiyah! Fastabiqul khoirat.

Jimbaran, 2 April 2020

Leave a comment